Dealer Suzuki Mobil

http://suzukimobil-jkb.blogspot.com/

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday, December 31, 2012

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA




MODUL B1
PENDEKATAN PEMBELAJARAN  BAHASA INDONESIA

1. Pendahuluan
            Semua orang yang mengajar di depan kelas harus profesional. Indikator seseorang yang profesional adalah: memiliki sertifikat sebagai pendidik dan mampu mengajar dengan baik. Sertifikat sebagai pendidik diberikan pada guru yang telah menempuh pendidikan tertentu, memiliki masa kerja tertentu, dan memiliki keterampilan tertentu.
            Sertifikat yang telah diperoleh adalah tuntutan administrasi sebagai seorang pendidik. Selain itu, guru professional juga harus dapat memperlihatkan kemampuan mengajar di depan kelas sesuai dengan Peratutan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menenngah.
            Peraturan tersebut menuntut semua guru mulai dari SD/MI sampai dengan SMA/MA/SMK memiliki keterampilan mengajar yang standar, yaitu mampu membuat perencanaan mengajar yang standar (menyusun silabus dan RPP); mampu melaksanakan pembelajaran yang standar (pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik); dan mampu melakukan evaluasi dengan tepat.
            Penyelenggaraan PLPG dirancang dalam rangka menghasilkan guru yang professional yang memiliki sertifikat sebagai pendidik dan mampu mengajar sesuai dengan Peratutan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menenngah.


1.1 Deskripsi
Bahan ajar ini membahas tentang pendekatan-pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia SD yang dapat dipakai untuk mengakomodasi tuntutan Peratutan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menenngah. Pembahasan disampaikan secara interaktif. Oleh karena itu, evaluasi dilakukan dalam bentuk proses dan hasil.

1.2  Petunjuk Belajar
Bahan ajar ini dapat dikuasai dengan baik bila peserta pelatihan  melakukan tahapan sebagai berikut:
a. membaca teks dengan cara membaca cepat;
b. membaca teks dengan kritis;
b. menginventarisasi berbagai hal yang perlu ditanyakan;
c. mencoba menjawab pertanyaan yang telah diinventarisasi;
d. mengikuti seluruh tahapan pelatihan dengan baik;
e. membaca teks kembali dengan kritis.
  
1. 3.   Kompetensi dan Indikator
1.3.1 Kompetensi
Setelah mengikuti pelatihan, peserta diharapkan  memahami pendekatan-pendekatan yang dapat mengakomodasi Standar Proses dalam pembelajaran  bahasa Indonesia  di SD







1.3.2 Indikator
1.   menjelaskan pengertian pendekatan;
2.   menyebutkan karakteristik pendekatan struktural;
3.   menyebutkan karakteristik pendekatan keterampilan proses;
4.   menyebutkan karakteristik pendekatan komunikatif;
5.   menyebutkan karakteristik pendekatan whole language;
6.   menyebutkan karakteristik pendekatan kontekstual;
7.   menyebutkan karakteristik pendekatan komunikatif;
8.    merancang kelas SD yang berkarakteristik pendekatan tertentu  dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

2. Uraian Materi
2.1  Pendekatan
2.1.1 Pengertian  Pendekatan Pembelajaran
Kata pendekatan adalah hasil terjemahan dari kata approach. Pendekatan pembelajaran bahasa Indonesia dimaknai sebagai seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan proses belajar berbahasa yang menjadi dasar guru merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran.  Dengan demikian, pendekatan dapat pula dimaknai sebagai a way of beginning something.  
    Ramelan (dalam Zuchdi 1996: 29) berpendapat senada. Ia mengatakan bahwa pendekatan adalah seperangkat asumsi yang saling berkaitan. Asumsi tersebut berhubungan dengan sifat dan pengajaran bahasa. Jadi, pendekatan adalah dasar teoretis yang menjadi dasar pemilihan metode, evaluasi, dll.
    Asumsi terhadap bahasa, belajar, belajar berbahasa, dll bermacam-macam. Setiap orang dapat memiliki asumsi yang berbeda karena setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda. Contoh asumsi: :
a.    Bahasa adalah bahasa lisan. Bahasa tertulis, bahasa tubuh, bahasa isyarat bukan bahasa;
b.    Bahasa terdiri atas struktur. Jika ingin terampil berbahasa, kuasailah struktur bahasa tersebut;
c.    Kemampuan berbahasa  tidak perlu dipelajari. Kemampuan tersebut akan datang dengan sendirinya;
d.    Belajar  berbahasa  berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi; 
e.    Belajar berbahasa berarti berusaha memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan;
f.     Siswa adalah anak yang tidak tahu apa-apa, oleh karena itu, anak harus banyak diberi tahu
 Berdasarkan asumsi-asumsi yang diyakini, guru memilih metode , alat evaluasi yang sesuai dengan asumsi tersebut.

2.1.2      Jenis-Jenis Pendekatan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Dalam sejarah pembelajaran bahasa Indonesia dikenal berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan struktural, pendekatan tujuan, pendekatan keterampilan proses, pendekatan komunikatif, dan pendekatan whole language.

2.1.2.1 Pendekatan Struktural
            Pendekatan struktural dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai kaidah. Atas dasar anggapan tersebut timbul pemikiran bahwa pembelajaran bahasa harus mengutamakan penguasaan kaidah-kaidah bahasa atau tata bahasa.

Oleh sebab itu, pembelajaran bahasa perlu dititikberatkan pada pengetahuan tentang struktur bahasa yang tercakup dalam fonologi, mofologi, dan sintaksis. Dalam hal ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola kata, dan suku kata menjadi sangat penting.
Di samping kelemahan, pendekatan ini juga memiliki kelebihan. Dengan struktural, siswa akan menjadi cermat dalam menyusun kalimat, karena mereka memahami kaidah-kaidahnya. Bila siswa memahami struktur kalimat dengan baik, siswa tidak akan membuat kesalahan seperti di bawah ini.
“Bajunya anak itu baru”.
“Di sekolahan kami mengadakan pertandingan sepak bola”.
“Anak-anak itu lari-lari di halaman”.
         Oleh karena pendekatan struktural sangat mementingkan ketepatan pemilihan struktur, pendekatan ini sering mengabaikan pemilihan kata sehingga akan muncul kalimat yang tidak lazim. Contoh:  Adik menggigit anjing.
                   Anjing digigit adik.
                   Surat menulis ayah.
2.1.2.2        Pendekatan Tujuan
Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap pembelajaran, hal yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai. Dengan memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan, guru menentukan metode yang akan digunakan dan teknik pengajaran yang akan diterapkan agar tujuan pembelajaran tersebut dapat dicapai. Jadi, proses belajar-mengajar ditentukan oleh tujuan yang telah ditetapkan, untuk mencapai tujuan itu sendiri.

Kurikulum 1975 adalah kurikulum yang berorientasi pada pendekatan tujuan. Oleh karena orientasinya pada tujuan, maka pembelajarannya pun ditekankan pada pencapaian tujuan. Contoh: Pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan ialah “Siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalaman atau informasi dari bacaan”. Berdasarkan tujuan tersebut, guru merancang kegiatan belajar. Guru benar-benar memikirkan pencapaian tujuan bukan prosesnya. Oleh karena itu, guru dapat menerapkan berbagai metode yang diyakini akan mampu mencapai tujuan. Guru akan mengabaikan berbagai hal termasuk memperlakukan siswa tidak manusiawi, mengabaikan minat siswa dalam rangka mencapai tujuan.
Penerapan pendekatan tujuan ini sering dikaitkan dengan cara belajar tuntas. Dengan cara belajar tuntas, berarti suatu kegiatan belajar-mengajar dianggap berhasil, apabila sedikit-dikitnya 85% dari jumlah siswa yang mengikuti pelajaran itu menguasai minimal 75% dari bahan ajar yang diberikan oleh guru. Penentuan keberhasilan itu didasarkan hasil tes sumatif.



2.1.2.3        Pendekatan Keterampilan Proses
Setiap manusia yang dilahirkan dibekali kemampuan dasar. Kemampuan dasar ini tumbuh dan berkembang bila dibina. Sebaliknya, kemampuan dasar itu dapat terpendam bila tidak dibina. Melalui CBSA, guru mengembangkan kemampuan dasar siswa menjadi keterampilan intelektual, sosial, dan fisik. Kepada siswa tidak hanya diberikan “apa yang harus dipelajari” tetapi yang lebih penting lagi “bagaimana cara mempelajarinya”. Siswa diajari bagaimana cara belajar yang baik atau belajar bagimana belajar.
Dalam proses belajar atau belajar bagaimana belajar diperlukan keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik. Ketiga keterampilan inilah yang disebut keterampilan proses. Setiap keterampilan ini terdiri atas sejumlah keterampilan. Dengan perkataan lain keterampilan proses terdiri atas sejumlah subketerampilan proses.
Keterampilan proses berfungsi sebagai alat menemukan dan mengembangkan konsep. Konsep yang telah ditemukan atau dikembangkan berfungsi pula sebagai penunjang keterampilan proses. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan pengembangan konsep dalam proses belajar-mengajar menghasilkan sikap dan nilai dalam diri siswa. Tanda-tandanya terlihat pada diri siswa seperti, teliti, kreatif, kritis, objektif, tenggang rasa, bertanggung jawab, jujur, terbuka, dapat bekerja sama , rajin, dan sebagainya.
                       Keterampilan proses dibangun oleh sejumlah keterampilan-keterampilan. Oleh karena itu, pencapaian atau pengembangnya dilaksanakan dalam setiap proses belajar-mengajar dalam semua mata palajaran. Tidak ada satu mata pelajaran pun yang dapat mengembangkan keterampilan itu secara utuh. Oleh karena itu, pula, ada keterampilan yang cocok dikembangkan oleh mata pelajaran tertentu dan kurang cocok dikembangkan oleh mata pelajaran lainnya.
Setiap mata pelajaran mempunyai karakteristik sendiri. Penjabaran keterampilan proses dapat berbeda pada setiap mata pelajaran. Perbedaan itu sifatnnya tidak mendasar tetapi hanyalah variasi-variasi. Sebagai contoh, mari kita perhatikan bagaimana keterampilan proses dijabarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia.

Penjabaran pendekatan proses itu sudah memenuhi karakter bahasa Indonesia itu sendiri. Penjabaran sebagai berikut.
1)          Mengamati
a.   Menatap: memperhatikan.
b.  Membaca: memahami suatu bacaan.  
c.   Menyimak: memahami sesuatu yang dibicarakan orang lain. 
2)          Menggolongkan
Mencari persamaan, perbedaan atau penggolongan (dapat berupa wacana, kalimat, dan kosa kata).
3)          Menafsirkan
a.   Menafsirkan: mencari atau menemukan arti, situasi, pola, kesimpulan dan mengelompokkan suatu wacana.
b.  Mencari dasar penggolongan: mengelompokkan sesuatu berdasarkan suatu kaidah, dapat berupa kata dasar, kata bentukan, jenis kata, pola kalimat ataupun wacana.
c.   Memberi arti: mencari arti kata-kata atau mencari pengertian sesuatu wacana kmudian mengutarakan kembali baik lisan maupun tertulis. 
d.  Mencari hubungan situasi: mencari atau menebak waktu kejadian dari suatu wacana puisi. Menghubungkan antarsituasi yang satu dengan yang lain dari beberapa wacana.
e.   Menemukan pola: menentukan atau menebak suatu pola cerita yang berupa prosa maupun pola kalimat.
f.    Menarik simpulan: mengambil suatu simpulan dari suatu wacana  secara induktif maupun deduktif.
g.  Menggeneralisasikan: mengambil kesimpulan secara induktif atau dari ruang lingkup yang lebih luas daripada menarik kesimpulan.
h.  Mengalisis: menganalisis suatu wacana berdasarkan paragraf, kalimat, dan unsur-unsur.
4)          Menerapkan
Menggunakan konsep: kaidah bahasa dalam menyusun dapat berupa penulisan wacana, karangan, surat-menyurat, kalimat-kalimat, kata bentukan dengan memperhatikan ejaan/kaidah bahasa.
5)          Mengkomunikasikan
a.   Berdiskusi: melakukan diskusi dan tanya jawab dengan memakai argumen-tasi/alasan-alasan dan bukti-bukti untuk memecahkan suatu masalah.
b.  Mendeklamasikan: melakukan deklamasi suatu puisi dengan menjiwai sesuatu yang dideklamasikan (dapat dengan menggerakkan anggota badan, kepala, pandangan mata, atau perubahan air muka).
c.   Dramatisasi: menirukan sesuatu perilaku dengan penjiwaan yang mendalam.
d.  Bertanya: mengajukan berbagai jenis pertanyaan yang mengarah kepada: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, atau evaluasi.
e.   Mengarang: menulis sesuatu dapat dengan melihat objeknya yang nyata dulu dengan bantuan gambar atau tanpa bantuan apa-apa. 
f.    Mendramakan/bermain drama: memainkan sesuatu teks cerita persis seperti apa yang tertera pada bacaan. 
g.  Mengungkapkan/melaporkan sesuatu dalam bentuk lisan dan tulisan: melaporkan darmawisata, pertandingan, peninjauan ke lapangan, dan sebagainya.
Keterampilan proses berkaitan dengan kemampuan. Oleh karena itu, penerapan keterampilan proses diletakkan atau inklusif dalam kompetensi dasar. Keterampilan proses juga dikenali pada instruksi yang disampaikan oleh guru kepada siswa untuk mengerjakan sesuatu.
Contoh : 
Instruksi: Lukiskan situasi yang dialami kuda dalam wacana berikut!

TOLONGLAH
Melihat rusa datang, kuda berkata, “Tolonglah rusa lepaskan tandukku.” “Lepaskan sendiri, Aku tidak dapat. Kalau harimau datang aku bisa-bisa dimangsa.”
 “Tolonglah jasamu tidak akan kulupakan”,  pinta kuda memelas.
Rusa pun luluh dendamnya. Ia menjadi kasihan kepada kuda. Rusa melupakan kesombongan kuda. “Teman dalam bahaya harus ditolong”, kata rusa dalam hati.

Keterampilan proses apa yang tersirat dalam instruksi tersebut di atas? Menafsirkan?
Kata-kata kunci yang terdapat dalam standar kompetensi pun merupakan petunjuk untuk mengetahui keterampilan proses mana yang turut dikembangkan. Misalnya, memahami, menerapkan, dan mengkomunikasikan. Ketiga kata kerja itu selalu ditemui dalam kompetensi dasar pokok bahasan pembelajaran berbicara. Kata kerja memahami yang menghasilkan pemahaman selalu dapat dipulangkan kepada keterampilan proses mengamati seperti membaca sesuatu atau menyimak sesuatu. Kata kerja memahami pun dapat dikembalikan kepada keterampilan proses menggolongkan seperti mencari persamaan, perbedaan atau penggolongan. Kata kerja menerapkan dapat secara langsung mengacu kepada keterampilan proses menerapkan melalui kegiatan menerapkan konsep, kaidah bahasa, dan sebagainya. Demikian juga kata kerja mengkomunikasikan secara langsung mengacu kepada keterampilan proses mengkomunikasikan melalui kegiatan berdiskusi, mendeklamasikan, dramatisasi, bertanya, mengarang, dan sebagainya.  
Kegiatan belajar-mengajar pada hakikatnya merupakan rangkaian aktivitas siswa  dan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam rangkaian  aktivitas  itu dimungkinkan membina satu, dua, atau beberapa aspek keterampilan proses pada diri siswa.

2.1.2.4        Pendekatan Whole Language
Whole language adalah pandangan tentang hakikat belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien sehingga mencapai hasil yang optimal (Weaver, 1990: 3). Pengembangan pendekatan whole language diilhami oleh pandangan konstruktivisme dalam pendidikan, sedangkan yang berhubungan dengan bahasa sebagai materi pembelajaran dan penentuan isi pembelajaran  diwarnai oleh fungsionalisme. 
Whole language dikembangkan berdasarkan berbagai wawasan dan hasil penelitian dari berbagai bidang ilmu, antara lain pemerolehan bahasa dan pengembangan baca-tulis, psikolinguistik, sosiolinguistik, psikologi kognitif dan psikologi perkembangan, antropologi, dan pendidikan. Sebagai suatu pendekatan dalam pengajaran bahasa, menurut Goodman (1986: 72-73), whole language menggunakan seperangkat asumsi dari empat landasan dasar, yaitu : teori belajar, teori kebahasaan, asumsi tentang pengajaran dan peranan guru, serta pandangan kurikulum pengajaran bahasa sebagai berikut:
1.    Teori Belajar
a)    Belajar bahasa akan berlangsung dengan mudah bagi siswa apabila belajar bahasa itu (1) disajikan secara holistik (sebagai keseluruhan), (2) nyata, (3) relevan, (4) bermakna, (5) fungsional, (6) disajikan dalam konteks , dan (7) dipilih siswa untuk digunakan.
b)    Pemakaian bahasa bersifat personal dan sosial. Siswa menggunakannya karena ada kebutuhan untuk berkomunikasi dari dalam diri dan pengungkapannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
c)    Siswa belajar melalui bahasa dan belajar tentang bahasa yang semuanya berlangsung secara simultan dalam konteks pemakaian bahasa secara lisan dan tulis yang autentik  (pemakaian bahasa yang sesungguhnya dalam komunikasi).
d)    Perkembangan kemampuan bahasa memberikan kekuatan kepada siswa. Siswa menentukan kapan menggunakan bahasa sesuai dengan tujuan dan maksud yang dikehendakinya.
e)    Belajar bahasa adalah belajar bagaimana mengungkapkan maksud sesuai dengan konteks. Terdapat interdependensi antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa; pikiran bergantung pada bahasa, dan bahasa bergantung pada pikiran.
f)     Perkembangan bahasa adalah suatu proses pembentukan kemampuan personal-sosial yang bersifat holistik.
2.    Asumsi Kebahasaan
Beberapa asumsi yang bersumber dari ilmu bahasa yang mendasari pendekatan whole language menurut Goodman (dalam Safi’ie, 1995) adalah sebagai berikut:
a.    Bahasa adalah suatu sistem lambang. Baik lisan maupun tulis pada hakikatnya bahasa adalah suatu sistem lambang yang kompleks yang digunakan oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan.
b.    Pemakain bahasa bersifat personal dan sosial. Bersifat personal, artinya bahasa dipakai oleh individu untuk menyatakan gagasan, mengemukakan pendapat, menyampaikan informasi sesuai dengan kebutuhan. Melalui bahasa yang sama, individu yang lain menerima pesan-pesan komunikasi. Bahasa bersifat sosial artinya pemakaian bahasa selalu dalam konteks komunikasi yang terjadi dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam kondisi ini, makna dibangun oleh suatu tuturan bukanlah makna tunggal. Suatu teks, baik lisan maupun tulis dapat membangkitkan rentangan interpretasi yang luas pada individu yang berinteraksi. Interpretasi ditentukan oleh kemampuan berbahasa, serta pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh individu masing masing yang tersimpan dalam bentuk skemata. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi antara individu.
c.    Bahasa adalah suatu sistem yang  terdiri atas subsistem-subsistem yang   saling berhubungan dalam jalinan yang saling memiliki interdependensi dan tidak bisa dipisahkan. Subsistem tersebut ialah fonologi (dalam bahasa lisan), huruf, ejaan dan tanda baca (dalam bahasa tulis), sintaksis, morfologi, semantik, dan pragmatik. Keseluruhan subsitem itu merupakan kesatuan yang utuh dalam bahasa yang bersangkutan. Realisasi pemakaian bahasa senantiasa berupa bahasa seutuhnya. 
Asumsi pengajaran bahasa bersifat sosial, artinya pemakaian bahasa selalu dalam konteks komunikasi yang terjadi dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Dalam kondisi ini, makna dibangun oleh suatu tuturan bukanlah makna tunggal. Suatu teks, baik lisan maupun tulis dapat membangkitkan rentangan interpretasi yang luas pada individu yang berinteraksi. Interpretasi ditentukan oleh kemampuan berbahasa, serta pengalaman-pengalaman yang dipunyai oleh individu masing­ masing yang tersimpan dalam bentuk skemata. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi.
Asumsi Pengajaran Bahasa.
Pandangan dasar tentang belajar-mengajar dan peran guru di dalamnya menurut Goodman (dalam Syafi’ie, 1995) adalah menciptakan kondisi yang kondusif yang memungkinkan terjadi proses belajar bahasa di kalangan siswa.
Pusat kegiatan belajar mengajar adalah siswa. Peran guru dalam kelas yang berpijak pada pendekatan keutuhan bahasa (whole language) bukan hanya sebagai penyaji materi, namun lebih dinamis. Dengan demikian, dalam kelas yang menganut pendekatan keutuhan bahasa (whole language) guru berperan sebagai (1) model, guru menjadi contoh perwujudan bentuk aktivitas berbahasa yang ideal, dalam kegiatan membaca, menulis, menyimak dan berbicara; (2) fasilitator, guru mempersiapkan bahan pengayaan yang memberi peluang bagi siswa dalam menemukan dan mengembangkan pemahaman; (3) pebelajar, guru merupakan “pembantu” yang senantiasa mempelajari sesuatu yang dipelajari siswa, mempelajari kesulitan yang dihadapi siswa serta memikirkan pemecahannya; (4) pengamat dan peneliti, guru senantiasa mengamati gejala minat, motivasi, dan proses belajar siswa. Guru perlu mengumpulkan bahan untuk memahami proses dan kemajuan belajar siswa. Caranya dapat dari hasil tugas, catatan lapangan, dan wawancara. Selain itu, guru juga perlu mengadakan refleksi; (5) dinamisator, guru bersahabat, bersedia mengingatkan siswa atau memujinya, serta memanfaatkan berbagai bentuk penguatan. Seorang guru bahasa dalam pendekatan whole language, harus mempunyai kompetensi-kompetensi sebagai berikut: 1) Mempunyai wawasan kependidikan yang luas sesuai dengan misi pendidikan; 2) Mengetahui dan memahami karaktersiktik siswa; 3) Mengetahui dan memahami teori bahsa dan teori belajar bahasa; 4) Menguasai bahan ajar bahasa; 5) Mengetahui dan memahami metodologi pengajaran bahasa; 6) Mengetahui dan memahami cara-cara menilai hasil belajar siswa; 7) Megetahui dan memahami strategi pengelolaan kelas dalam pengajaran bahasa; 8) Menguasai bahasa yang diajarkannya dan dpat menggunakannya dalam berbagai peristiwa komunikasi; 9) Mempunyai kebanggan sebagai guru bahasa; 10) Mencintai pekerjaannya sebagai guru bahasa; 11) Dapat menyusun rencana pengajaran; 12) Dapat membimbing dan mengarahkan siswa dalam belajar bahasa; 13) Dapat menggunakan bebagai media pengajaran. Dalam whole language dibedakan antara kegiatan yang bersifat transmisi dengan kegiatan transaksional (Weaver,1990; Aminuddin,1997:34). Kedua kegiatan tersebut dibedakan seperti di bawah ini

No
Transmisi
Transaksional
1.
Guru melaksanakan kurikulum yang sudah dirancang dan dipersiapkan secara detil.
Guru mengadakan negosiasi dengan kurikulum untuk mengembangkan KBM yang kontekstual tanpa mengabaikan topik dan pembelajaran yang inti yang harus dilaksanakan.
2.
Siswa memahami informasi yang disampaikan guru secara langsung melalui buku teks dan menghafalkan pengetahuan.
Siswa secara aktif menemukan pemahaman melalui penghayatan proses atas sesuatu yang dipelajari.
3.
Siswa dibedakan antara yang pandai dan bodoh sehingga kesalahan siswa menjadi pusat perhatian.
Siswa disikapi sebagai pebelajar yang memiliki potensi untuk mengu­asai isi pembelajaran.
4.
Hasil belajar diidealkan sama setiap siswa, menerima perintah dan petunjuk sesuai dengan apa yang dipandang baik oleh guru, siswa yang lambat belajarnya kurang mendapat perhatian guru dan dukungan temannya.
Siswa dalam memecahkan kesulitan belajarnya memperoleh bantuan dari teman dan guru melalui kegiatan belajar secara kooperatif.

2.1.2.4.1    Karateristik Whole Language 
Secara umum whole language dapat dinyatakan sebagai perangkat wawasan yang mengarahkan kerangka pikir praktisi dalam menentukan bahasa sebagai meteri pelajaran, isi pembelajaran, dan proses pembelajaran. Pengembangan wawasan whole language diilhami konsep konstrutivisme, language experience approach (LEA), dan progresivisme dalam pendidikan. Wawasan yang dikembangkan sehubungan dengan bahasa sebagai materi pelajaran dan penentuan isi pembelajarannya diwarnai oleh fungsionalisme dan semiotika (Edelsky, Altwerger, dan Flores, 1991). Sementara itu, prinsip dan penggarapan proses pembelajarannya diwarnai oleh progresivisme dan konstruktivisme menyatakan bahwa siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secara utuh (whole) dan terpadu (integrated) (Roberts, 1996). Siswa termotivasi untuk belajar jika mereka melihat bahwa yang dipelajarinya itu diperukan oleh mereka. Guru berkewajiban menyediakan lingkungan yang menunjang siswa agar mereka dapat belajar dengan baik. Fungsi guru dalam kelas whole language berubah dari desiminator informasi menjadi fasilitor (Lame & Hysith, 1993).
Penentuan isi pembelajaran dalam perspektif whole language diarahkan oleh konsep tentang kebahasaan dan nilai fungsionalnya bagi pebelajar dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan konsep bahwa pengajaran bahasa mesti didasarkan pada kenyataan penggunaan bahasa, maka isi pembelajaran bahasa diorientasikan pada topik pengajaran  membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Ditinjau dari nilai fungsionalnya dalam kehidupan, penguasaan yang perlu dijadikan fokus dan perlu dikembangkan adalah penguasaan kemampuan membaca dan menulis. Sebab itulah konsep literacy (keberwacanaan) dalam persfektif whole language yang hanya dihubungkan dengan perihal membaca dan menulis (Au, Mason, dan Scheu, 1995, Eanes, 1997). Ditinjau dari konsep demikian, topik pengajaran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis tidak harus digarap secara seimbang karena alokasi waktu pengajaran mesti lebih banyak digunakan untuk pembelajaran membaca dan menulis.


2.1.2.4.2    Komponen-komponen Whole Language 
Whole language adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran, dan tentang orang-orang yang terlibat dalam pembelajaran. Dalam hal ini orang-orang yang dimaksud adalah siswa dan guru. Whole language dimulai dengan menumbuhkan lingkungan berbahasa yang diajarkan secara utuh  dan keterampilan bahasa diajarkan secara terpadu. Menerapkan whole language memang agak sulit karena tidak ada acuan yang benar-benar mengaturnya. Namun guru dapat mencoba menerapkannya dengan mengetahui komponen-komponen yang terdapat dalam whole language. Menurut Routman dan Froese (dalam Suratinah dan Teguh Prakoso 2003: 2.3) ada delapan komponen whole language, yaitu reading aloud, sustained silent reading, shared reading, journal writing, guided reading, guided writing,  independent reading, dan independent writing. Namun sesuai dengan definisi whole language yaitu pembelajaran bahasa yang disajikan secara utuh dan tidak terpisah-pisah, maka dalam menerapkan setiap komponen whole language di kelas, guru harus pula melibatkan semua keterampilan dan unsur bahasa dalam kegiatan pembelajaran.

a.    Reading Aloud
Reading Aloud  adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru dapat menggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan membacakannya dengan suara keras dan intonasi yang benar sehingga setiap siswa dapat mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini sangat besar manfaatnya terutama jika dilakukan di kelas rendah. Manfaat yang didapat dari reading aloud antara lain meningkatkan keterampilan menyimak, memperkaya kosakata, membantu meningkatkan membaca pemahaman, dan yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan minat baca pada siswa.
Guru dapat memilih cerita pendek yang menarik dari buku cerita atau dari buku teks yang ada. Kegiatan ini dua-tiga kali seminggu sebelum kemudian menjadi kegiatan rutin yang dilakukan setiap hari..

b.    Sustained Silent Reading
Sustained Silent Reading (SSR) adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini kesempatan untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Pada kegiatan ini guru memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih bahan bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri sehingga mereka dapat menyelesaikan membaca bacaan tersebut. Guru, dalam hal ini sedapat mungkin menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Guru dapat memberi contoh sikap membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa melalui kegiatan ini adalah (a) membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan; (b) membaca dapat dilakukan oleh siapa pun; (c) membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut; (d) siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang cukup lama; (e) guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca; dan (f) siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya setelah kegiatan SSR berakhir.  

c.     Journal Writing
Salah satu cara yang dipandang cukup efektif untuk meningkatkan keterampilan siswa menulis adalah dengan mengimplementasikan pembelajaran menulis jurnal atau menulis informal. Melalui kegiatan menulis jurnal, siswa dilatih agar lancar menceritakan kejadian di sekitarnya tanpa terbebani hal-hal yang bersifat mekanik. Tompkins (1991:210) menyatakan bahwa penekanan pada hal-hal yang bersifat mekanik membuat tulisan mati karena hal tersebut tidak mengizinkan gagasan siswa tercurah secara alami. Dengan demikian, siswa dapat mencurahkan gagasan tanpa merasa cemas dan tertekan memikirkan mekanik tulisannya. 
Banyak manfaat yang dapat kita peroleh dari kegiatan menulis jurnal ini. Manfaat tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
ü  Meningkatkan kemampuan menulis. Dengan menulis jurnal siswa terbiasa mengungkapkan pikirannya dalam bentuk tulisan yang kemudian membantunya untuk mengembangkan kemampuan menulis.
ü  Meningkatkan kemampuan membaca. Siswa secara spontan akan membaca hasil tulisannya sendiri setiap ia selesai menulis jurnal. Dengan cara ini tanpa disadari siswa melatih kemampuan membacanya, sehingga dengan menulis jurnal siswa tersebut juga meningkatkan kemampuan membaca.
ü  Menumbuhkan keberanian menghadap risiko. Karena menulis jurnal bukanlah kegiatan yang harus dinilai, maka siswa tidak perlu takut untuk berbuat salah. Bahkan kesempatan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk bereksplorasi.
ü  Memberi kesempatan untuk membuat refleksi. Melalui menulis jurnal dapat merefleksi apa yang telah dipelajarinya  atau dilakukannya.
ü  Memvalidasi pengalaman dan perasaan pribadi. Kejadian apa saja yang dialami oleh siswa baik di sekolah mapun di luar sekolah dapat diungkapkan  dalam jurnal. Dengan menghargai apa yang ditulis siswa akan membuat siswa merasa dihargai.
ü  Memberikan tempat yang aman dan rahasia untuk menulis. Terutama untuk siswa kelas tinggi, jurnal adalah sarana untuk mengungkapkan perasaan pribadi. Jurnal ini sering disebut diary atau buku harian. Untuk jurnal jenis ini siswa boleh memilih apakah guru boleh membaca jurnalnya atau tidak.
ü  Meningkatkan kemampuan berpikir. Dengan meminta siswa menulis jurnal, berarti melatih mereka melakukan proses berpikir, mengingat kembali, memilih kejadian mana yang akan diceritakan, dan menyusun informasi yang dimiliki menjadi cerita yang dapat dipahami pembaca. Dengan membaca jurnal, guru mengetahui kejadian atau materi mana yang berkesan dan dipahami siswa dan mana bagian yang membuatnya bingung.
ü  Meningkatkan kesadaran akan peraturan menulis. Melalui menulis jurnal siswa belajar tata cara menulis seperti penggunaan huruf besar, tanda baca, dan struktur kalimat. Siswa juga mulai menulis dengan menggunakan topik, judul, halaman, dan subtopik. Mereka juga menggunakan bentuk tulisan yang berbeda seperti dialog (percakapan) dan cerita besambung. Semua ini diajarkan tidak secara formal.
ü  Menjadi alat evaluasi. Siswa dapat melihat kembali jurnal yang ditulisnya dan menilai sendiri kemampuan menulisnya. Mereka dapat melihat komentar atau respon guru atas kemajuannya. Guru dapat menggunakan jurnal sebagai sarana untuk menilai kemampuan bahasa siswa, di samping juga penguasaan materi dan gaya penulisan.
ü  Menjadi dokumen tertulis. Journal writing dapat digunakan siswa sebagai dokumen tertulis mengenai perkembangan hidup atau pribadinya. Setelah mereka dewasa, mereka dapat melihat kembali hal-hal apa yang pernah mereka anggap penting pada waktu dahulu. 

d.    Shared Reading
Komponen whole language yang keempat adalah shared reading, yaitu kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa  dan mereka harus mempunyai buku untuk dibaca bersama. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di kelas rendah maupun di kelas tinggi. Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini yaitu:
ü  guru membaca dan siswa mengikutinya (untuk kelas rendah);
ü  guru membaca dan siswa menyimak sambil melihat bacaan yang tertera pada buku;
ü  siswa membaca bergiliran
Maksud kegiatan ini adalah: 
ü   sambil melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai model;
ü   memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya; dan 
ü   siswa yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh   membaca yang benar.

e.    Guided Reading
Komponen whole language yang kelima adalah guided reading. Tidak seperti pada shared reading, yaitu guru lebih berperan sebagai model dalam membaca, dalam guided reading atau disebut juga membaca terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilator. Dalam membaca terbimbing penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri tetapi lebih pada membaca pemahaman. Dalam guided reading semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru melemparkan pertanyaan yang meminta siswa menjawab dengan kritis, bukan se-kedar pertanyaan pemahaman. Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting dilakukan di kelas.

f.     Guided Writing
Komponen whole language yang keenam adalah guided writing atau menulis terbimbing seperti dalam membaca terbimbing, dalam menulis terbimbing peran guru adalah sebagai fasilator, membantu siswa menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas, sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur, sebagai pemberi saran bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses writing seperti memilih topik, membuat draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan sendiri oleh siswa.

g.    Independent Reading
Komponen whole language yang ketujuh adalah independent reading, yaitu kegiatan membaca yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan sendiri materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading siswa bertanggung jawab terhadap bacaan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari seorang pemprakasa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat, fasilator, dan pemberi respon. Menurut penelitian yang dilakukan Anderson dkk (1988), membaca bebas yang diberikan secara rutin walaupun hanya 10 menit sehari dapat meningkatkan kemampuan membaca pada siswa.
Pada awal penerapan independent reading, guru dapat membantu siswa memilih buku yang akan dibacanya dengan memperkenalkan buku-buku tersebut, misalnya, guru membacakan sinopsisnya atau ringkasan buku yang terdapat pada halaman sampul. Jika guru pernah membaca buku tersebut, guru menceritakan sedikit tentang buku tersebut. Dengan mengetahui sekelumit tentang cerita, siswa akan termotivasi memilih buku dan membacanya sendiri. Demikian juga ketika guru mempunyai buku baru, sebaiknya buku tersebut diperkenalkan agar siswa dapat mempertimbangkan untuk membaca atau tidak.
Dalam memperkenalkan buku, sebaiknya guru juga membahas tentang pengarang dan ilustrator yang biasanya tertulis di halaman akhir. Jika tidak ada keterangan tertulis tentang pengarang atau ilustrator, paling tidak guru dapat menyebutkan nama-nama mereka atau tambahkan sedikit informasi yang Anda ketahui. Hal ini penting dilakukan agar siswa sadar, bahwa sesungguhnya buku itu tertulis oleh manusia bukan mesin.
Buku yang dibaca siswa untuk independent reading tidak selalu harus didapat dari perpustakaan sekolah atau kelas atau disiapkan guru. Siswa dapat memperoleh buku dari berbagai sumber seperti perpustakaan kota/kabupaten, buku-buku yang ada di rumah, di toko buku, pinjam teman atau dari sumber lain-nya. Inti dari independent reading adalah membantu siswa meningkatkan kemampuan pemahamannya, mengembangkan kosa kata, melancarkan membaca, dan secara keseluruhan memfasilitasi membaca.

h.    Independent Writing
Komponen whole language yang kedelapan adalah independent writing. Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk meningkatkan kemam-puan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dalam menulis bebas siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa ada intervensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses menulis. Jenis menulis yang termasuk dalam independent writing antara lain menulis jurnal dan menulis respon.

2.1.2.4.3    Ciri-ciri Kelas Whole Language
Ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language. Pertama, kelas yang menerapkan whole language penuh dengan  barang pajangan. Barang-barang tersebut tergantung di dinding, pintu, dan furnitur. Label yang dibuat siswa ditempel pada meja, lemari, dan sudut belajar. Poster hasil kerja siswa menghiasi dinding dan bulletin board. Karya tulis siswa dan chart yang dibuat siswa menggantikan bulletin board yang dibuat  guru. Salah satu sudut kelas diubah menjadi perpustakaan yang dilengkapi berbagai jenis buku (tidak hanya buku teks), majalah, koran, kamus, buku petunjuk, dan barbagai macam barang cetak lainnya. Semua itu disusun dengan rapi berdaasrkan pengarang atau jenisnya sehingga memudahkan siswa memilih. Walaupun hanya satu sudut yang dijadikan perpustakaan, namun buku tersedia di seluruh ruang kelas.
Kedua, di kelas whole language guru berperan sebagai model, guru menjadi contoh perwujudan bentuk aktivitas berbahasa yang ideal, dalam kegiatan membaca, menulis, menyimak, dan wicara. Over head projector (OHP) dan transparansi digunakan untuk memperagakan proses menulis. Siswa mendengarkan cerita melalui tape recorder untuk mendapatkan contoh membaca yang benar.
Ketiga, di kelas whole language siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemamapuannya. Agar siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat perkembangnya, maka di kelas tersedia buku dan materi yang menunjang. Buku disusun berdasarkan tingkat kemampuan  membaca siswa, sehingga siswa dapat memilih buku yang sesuai untuknya. Di kelas juga tersedia meja besar yang dapat digunakan siswa untuk menulis, melakukan editing dengan temannya, atau membuat kover untuk buku yang ditulisnya. Langkah-langkah proses menulis tertempel di dinding sehingga siswa dapat melihatnya setiap saat. 
Keempat, di kelas whole language siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran. Peran guru di kelas whole language lebih sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih beberapa tanggung jawab yang biasanya dilakukan guru. Siswa, membuat kumpulan kata (words blank), melakukan brainstorming, dan mengumpulkan fakta. Pekerjaan siswa ditulis pada chart dan terpampang di seluruh ruangan. Siswa menjaga kebersihan dan kerapian kelas. Buku perpustakaan dipinjam dan dikembalikan oleh siswa tanpa bantuan guru. Buku bacaan atau majalah dibawa siswa dari rumah. Pada salah satu bulletin board terpampang pembagian tugas untuk setiap siswa. Siswa bekerja dan bergerak bebas di kelas. 
Kelima, di kelas whole language siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran bermakna. Siswa aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang membantu mengembangkan rasa tanggung jawab dan tidak tergantung. Siswa terlibat dalam kegiatan kelompok kecil atau kegiatan individual. Ada kelompok yang mem-buat perjalanan sejarah. Siswa lain, secara individual menulis respon terhadap buku yang dibacanya, membuat buku, menuliskan kembali cerita rakyat, atau mengedit draf final. Guru terlibat dalam konferensi dengan siswa atau berkeliling ruang mengamati siswa, berinteraksi dengan siswa,  atau membuat catatan tentang kegiatan siswa. 
Keenam, di kelas whole language siswa berani mengambil risiko dan bebas bereksperimen. Guru di kelas whole language menyediakan kegiatan belajar dalam berbagai tingkat kemampuan sehingga semua siswa dapat berhasil. Hasil tulisan siswa dipajang tanpa ada tanda koreksi. Contoh hasil kerja setiap siswa terpampang di seputar ruang kelas. Siswa dipacu untuk melakukan yang terbaik. Namun guru tidak mengharapkan kesempurnaan, yang penting adalah respon atau jawaban yang diberikan siswa dapat diterima.
Ketujuh, di kelas whole  language siswa mendapatkan balikan (feedback) positif baik dari guru maupun temannya. Ciri kelas whole language, bahwa pemberian feedback dilakukan dengan segera. Meja ditata berkelompok agar memungkinkan siswa berdiskusi, berkolaborasi, dan melakukan konferensi. Konferensi antara guru dan siswa memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penilaian diri dan melihat perkembangan diri. Siswa yang mempresentasikan hasil tulisannya mendapat respon positif dari temannya. Hal ini dapat membangkitkan rasa percaya diri.
                                                                              
2.1.2.4.4    Penilaian  dalam Kelas Whole Language
Di dalam kelas whole language, guru senantiasa memperhatikan kegiatan yang dilakukan siswa. Secara informal, selama pembelajaran berlangsung, guru memperhatikan siswa menulis, mendengarkan, berdiskusi baik dalam kelompok ataupun diskusi kelas. Ketika siswa bercakap-cakap dengan temannya atau dengan guru, penilaian juga dilakukan, bahkan guru juga memberikan penilaian saat siswa bermain selama waktu istirahat.
Kemudian, penilaian juga berlangsung ketika siswa dan guru mengadakan konferensi. Walaupun guru tidak terlihat membawa-bawa buku nilai, namun guru menggunakan alat penilaian seperti format observasi dan catatan anecdote. Dengan kata lain, dalam kelas whole language guru memberikan penilaian pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Selain penilaian informal, penilaian juga dilakukan dengan menggunakan portofolio. Portopolio adalah kumpulan hasil kerja siswa selama kegiatan pembelajaran. Dengan portofolio perkembangan siswa dapat terlihat secara autentik.



2.1.2.5        Pendekatan Kontekstual
2.1.2.5.1    Pengertian Pendekatan Kontekstual
 Pendekatan kontekstual sebenarnya tidak hanya digunakan dalam pembelajaran bahasa saja, tetapi digunakan juga dalam pembelajaran Matematika. Pendekatan ini memiliki berbagai nama. Di negeri Belanda dikembangkan dengan istilah Realistic Mathematics Education (RME). Di Michigan berkembang dengan nama Connected Matematic Project (CMP). Di Amerika berkembang dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL). Inti dari pendekatan ini adalah mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata dengan harapan agar peserta didik dapat mempelajarinya dengan mudah.
Di Indonesia, ada yang menggunakan istilah “pembelajaran kontekstual” (Nurhadi, 2004), Departemen Pendidikan Nasional menggunakan istilah pendekatan kontekstual (2002).  Dalam buku ajar ini digunakan istilah “pendekatan kontekstual.
Berikut ini mari kita ikuti beberapa pengertian pendekatan kontekstual. Johnson (dalam Nurhadi, 2004:12) mengungkapkan sistem kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat makna dalam bahan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupannya sehari-hari. Sementara, The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning (dalam Nurhadi, 2004:12) merumuskan pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar di sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan persoalan yang ada dalam dunia nyata. Nurhadi (2004:13) menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pasda saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupannya sehari-hari. Bagaimana menurut pendapat Anda? Mungkin Anda sependapat dengan yang disimpulkan dalam buku ajar ini, intinya pembelajaran menurut pendekatan kontekstual adalah materi pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan peserta didik. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk pesera didik bekerja dan mengalami, bukan berupa pemindahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik.

2.1.2.5.2    Hakikat dan Karakteristik Pendekatan Kontekstual
 Beranjak dari pengertian di atas, hakikat pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupannya sehari-hari.  Dalam pendekatan ini dilibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif seperti yang telah diiuraikan pada unit 1 yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan asesmen autentik.
Saudara, bagaimanakah karakteristik pendekatan kontekstual itu? Jawabannya, mari kita ikuti paparan para pakar berikut.
Johnson (dalam Nurhadi, 2004:13-14) mengungkapkan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen utama yaitu (1) memiliki hubungan yang bermakna, (2) melakukan kegiatan yang signifikan, (3) belajar yang diatur sendiri, (4) bekerja sama, (5) berfikir kritis dan kreatif, (6) mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik.  Sementara, The Northwest Regional Education Laboratory USA (dalam Nurhadi, 2004:14-15) mengidentifikasi adanya enam kunci dasar pembelajaran kontekstual yaitu (1) pembelajaran bermakna, (2) penerapan pengetahuan, (3) berpikir tingkat tinggi, (4) kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar, (5) responsif terhadap budaya, dan (6) penilaian autentik. Lebih kompleks lagi, karakteristik pendekatan kontekstual yang diungkapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003:20-21) yaitu (1) kerjasama; (2) saling menunjang; (3) menyenangkan; (4) belajar dengan bergairah; (5) pembelajaran terintegrasi; (6) menggunakan berbagai sumber; (7) peserta didik aktif; (8) sharing dengan teman; (9) peserta didik kritis; (10) guru kreatif; (11) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya peserta didik, peta, gambar, artikel, dan sebagainya; (12) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya peserta didik, laporan hasil praktikum, karangan, dan sebagainya. 
Tampaknya karakteristik yang terakhir lebih mudah dipahami dan lengkap. Bagaimana menurut Anda karakteristik mana yang dianggap lebih sederhana dan mudah dipahami?  Mungkin Anda pun memiliki pendapat yang sama seperti yang diungkapkan dalam buku ajar ini yaitu karakteristik yang diungkapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional lebih lengkap dan mudah dipahami. 

2.1.2.5.3    Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas
 Sesuai dengan komponen yang dimiliki oleh pendekatan kontekstual, maka sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan tersebut jika mengggunakan ketujuh komponen yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakar belajar, pemodelan, refleksi, dan asesmen autentik. Secara garis besar, langkah-langkah penerapan kontekstual di kelas sebagai berikut.
1)    Kembangkan pemikiran bahwa peserta didik akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. (komponen konstruktivisme).
2)    Laksanakan kegiatan menemukan sendiri untuk mencapai kompetisi yang diinginkan. (komponen inkuiri).
3)    Kembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya. (komponen bertanya).
4)    Ciptakan masyarakat belajar, kerja kelompok. (Komponen Masyarakat Belajar).
5)    Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran. (komponen pemodelan).
6)    Lakukan refleksi di akhir pertemuan, agar peserta didik merasa bahwa hari ini mereka belajar sesuatu. (komponen refleksi).
7)    Lakukan penilaian yang autentik dari berbagai sumber dan cara. (komponen asesmen autentik).


2.1.2.6        Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa (Zuchdi dan Budiarsih, 1996/1997:33-34).  Hal ini sesuai dengan yang dituntut baik oleh Kurikulum 1994 maupun oleh Kurikulum 2004,  bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SD tidak lagi untuk menciptakan bagaimana peserta didik memahami tentang bahasa, tetapi lebih ditekankan pada kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara lisan dan tulisan.
Komsep kompetensi komunikatif membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja.  Selanjutnya, kedua bagian ini dibedakan lagi dalam dua versi, yaitu versi lemah dan versi kuat.  Yang dimaksud dengan versi lemah  adalah pembedaan kemampuan kompetensi dengan performansi pada diri seseorang.  Dengan kata lain, kompetensi berbahasa seseorang tidak memberikan pengaruh terhadap performansi berbahasanya atau sebaliknya.
Pengetahuan kebahasaan bertalian dengan pengetahuan penutur terhadap bahasa sebagai suatu sistem dan merupakan kemampuan potensial dalam diri penutur.  Melalui kemampuan potensial ini penutur dapat menciptakan tuturan-tuturan, biasanya berupa kalimat-kalimat.  Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kompetensi linguistik merupakan daya dorong untuk berbahasa secara kreatif.
Pandangan tersebut diperluas oleh para pakar dari versi kuat. Dalam versi ini, Chomsky beserta pakar-pakar pembelajaran yang lain seperti Hymes pada tahun 1971, dan Howatt dalam Richard dan Rogers (1986: 660) mengungkapkan bahwa penguasaan gramatika termasuk satu kompetensi berbahasa seseorang.  Di samping itu, ditekankan pula bahwa performansi berbahasa seseorang didukung oleh kompetensi kebahasaannya.  Pendapat ini membuka peluang masuknya unsur sosiokultural dalam telaah linguistik, karena bahasa bukan saja dipandang sebagai kemampuan penutur secara individual, melainkan dihubungkan dengan dapat diterima atau tidaknya oleh mitra bicara.  Oleh karena itu, kompetensi di bidang kebahasaan adalah juga sebagai kompetensi komunikatif.
Proses performansi kebahasaan biasanya diartikan sebagai kegiatan verbal yang berkaitan dengan proses pengungkapan. Sebagai bagian dari proses pengungkapan, performansi kebahasaan mengandung ciri-ciri sosiokultural khusus yang mewarnai  bahasa seseorang.  Performansi kebahasaan sering dikenal sebagai pemakaian bahasa secara aktual dalam situasi konkret.  Jadi pembelajaran yang komunikatif adalah pembelajaran bahasa yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan yang memadai untuk mengembangkan kebahasaan dan mengunjukkan dalam kegiatan berbahasa, baik kegiatan produktif maupun reseptif sesuai denagn situasi yang nyata, bukan situasi buatan.yang terlepas dari konteks.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kompetensi komunikatif adalah keterkaitan dan interelasi antara kompetensi gramatikal atau pengetahuan kaidah-kaidah bahasa dengan kompetensi sosiolinguistik atau atauran-aturan tentang penggunaan bahasa yang sesuai dengan kultur masyarakat.  Kompetensi komunikatif hendaknya dibedakan dengan perforemansi komunikatif karena performansi komunikatif mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan beserta interaksinya dalam pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap terhadap tuturan-tuturan.  Oleh sebab itu, seseorang yang dikatakan memiliki kompetensi dan performansi berbahasa yang baik hendaknya mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang dipelajarinya, baik dalam pemroduksian (berbicara dan menulis/mengarang) maupun dalam pemahaman (membaca dan menyimak/mendengarkan).
Konsep kompetensi komunikatif menurut Cambell dan Wales, Hymes, dan Munby (dalam Omaggio, 1986:7) meliputi kompetensi gramatika, sosiolinguistik, kewacanaan, dan kompetensi strategi.  Keempat konsep kompetensi komunikatif ini ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kompetensi gramatikal mencakup kemampuan seseorang menguasai kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau rumus-rumus ketatabahasaan.  Kemampuan ini meliputi pemahaman dan penguasaan kaidah dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan ortologi..
Kompetensi sosiolinguistik mencakup pemahaman dan penguasaan terhadap aspek-aspek komunikasi bahasa.  Di dalamnya tercakup kemampuan memahami penutur, isi komunikasi, alat penyampaian pesan, tujuan komunikasi, dan siapa mitra komunikasinya. Dengan kata lain, kompetensi sosiolinguistik berkaitan dengan kemampuan seseorang memahami aspek tujuan berkomunikasi, ragam bahasa yang digunakan, diksi, serta nuansa-nuansa lain yang berkaitan dengan aspek sosial dan bahasa.
Kompetensi kewacanaan berkaitan erat dengan pemahaman dan penguasaan seorang penutur bahasa terhadap aspek fisik serta mental bahasa.  Yang dimaksud dengan aspek fisik adalah aspek tuturan, lisan maupun tulisan, dari tataran kalimat, paragraf, hingga wacana.  Sementara,  aspek mental bahasa berkaitan dengan makna, nuansa, dan rasa bahasa.
Kemampuan untuk mengolah informasi sehingga menjadi  sebuah wacana yang dipahaminya menjadi informasi yang dikemukakan kepada orang lain, juga ditentukan oleh strategi berpikir.  Dalam konsep kompetensi berbahasa, hal ini disebut kompetensi strategi.  Kompetensi ini berkaitan dengan keterkaitan antara kemampuan berbahasa dengan berpikir.
Kaitan tentang hubungan antara berbahasa dengan kemampuan berpikir merupakan konsep psikolinguistik.  Secara garis besarnya, terdapat tiga pendapat tentang hubungan antara kemampuan berpikir dengan kemampuan berbahasa, yaitu (1) kemampuan berbahasa tidak memiliki hubungan dengan kemampuan berpikir, (2) kemampuan berbahasa pada dasarnya identik dengan kemampuan berpikir, (3) kemampuan   berbahasa dan kemampuan berpikir memiliki keterkaitan, akan tetapi antara keduanya tidak identik (Ali, dkk., 1994:33).
Rumusan pendapat pertama diungkapkan oleh Jarsild, dkk.  (dalam Ali, dkk. 199:34).  Yang mengemukakan bahwa antara berbahasa dan berpikir tidak terdapat hubungan kausal.  Bahasa hanyalah merupakan alat untuk membantu pikiran, membedakan, dan mempertajam konsep-konsep.  Oleh karena itu perkembangan berpikir seseorang tidak terkait dengan kemampuan berbahasanya.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh Laird (dalam Ali, dkk. 199:34) menyatakan bahwa manusia tidak hanya berpikir dengan otaknya, tetapi juga dengan bahasanya.  Oleh karena itu, Laird menambahkan untuk memisahkan kegiatan berpikir dengan kegiatan berbahasa merupakan sesuatu yang mustahil.  Tidak ada penalan tanpa bahasa dan tidak ada bahasa tanpa penalaran karena keduanya identik.
Pendapat yang mendukung bahwa antara berbahasa dan berpikir memiliki keterkaitan timbal balik, tetapi keduanya tidak identik adalah para ahli psikologi dan psikolinguistik.  Fyle  (dalam Ali, dkk. 1994:36) yang merujuk pada hasil penelitian Bullock pada tahun 1975 menyimpulkan bahwa bahasa merupakan faktor utama dalam proses pembelajaran dan pengembangan kemampuan kognitif.  Bahasa dipandang sebagai sarana aktivitas simbolik.  Dengan bahasa manusia dapat merefleksikan kehidupannya, menerjemahkan, dan mentransformasikan pengalamannya.
Bagaimana menurut pendapat Anda?  Setuju pendapat pertama, kedua, atau ketiga?  Ungkapkan alasannya! 

2.1.2.6.1    Ciri-ciri Pendekatan Pembelajaran Komunikatif
Brumfit dan Finocchiaro (dalam Richards dan Rogers, 186:87) mengungkapkan ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah (1) makna merupakan hal yang terpenting, (2) percakapan harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal, (3) kontekstualisasi merupakan premis pertama, (4) belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi, (5) komunikasi efektif dianjurkan, (6) latihan penubihan atau drill diperbolehkan, tetapi tidak memberatkan, (7) ucapan yang dapat dipahami diutamakan, (8) setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik, (9) segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal, (10) penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak, (11) terjemahan digunakan jika diperlukan peserta didik, (12) membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal, (13) sistem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi, (14) komunikasi komunikatif merupakan tujuan, (15) variasi linguistik merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi, (16) urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat minat belajar, (17) guru mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan menggunakan bahasa itu, (18) bahasa diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan mencoba, (19) kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan, (20) peserta didik diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis, (21) guru tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didinya, dan (22) motivasi intrinksik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan. 

2.1.2.6.2    Peran Peserta Didik dalam Proses Belajar-Mengajar
 Robin dan Thompson  (dalam Tarigan, 1990:201) mengemukakan bahwa ciri-ciri peserta didik yang sesuai dengan konsep pendekatan komunikatif adalah: (1) selalu berkeinginan untuk menafsirkan tuturan secara tepat, (2) berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu komunikatif, (3) tidak merasa malu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi, (4) selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi, (5) frekuensi latihan berbahasa lebih tinggi, dan (6) selalu memantau ujaran sendiri dan ujaran mitra bicaranya untuk mengetahui apakah pola-pola bahasa yang diucapkan tersebut dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.

2.1.2.6.3    Peran Guru dalam Proses Belajar-Mengajar
 Berdasarkan konsep pendekatan komunikatif, guru bukanlah penguasa tunggal dalam kelas.  Guru bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar, akan tetapi guru juga sebagai penerima informasi dari peserta didik.  Jadi pembelajaran didasarkan atas multi sumber.  Sumber pembelajaran adalah guru, peserta didik, dan lingkungan.  Lingkungan terdekat adalah kelas.
Chandlin  (dalam Tarigan, 1990:201) menyebutkan dua peran guru dalam proses belajar-mengajar, yaitu (1) pemberi kemudahan dalam proses komunikasi antara semua peserta didik dalam kelas, antara peserta didik dengan kegiatan pembelajaran, serta teks atau materi dan (2) sebagai partisipan mandiri dalam kelompok belajar-mengajar.
Implikasi dari kedua peran di atas menimbulkan peran-peran kecil lainnya, yaitu peran sebagai pengorganisasi, pembimbing, peneliti, dan pembelajar dalam proses belajar-mengajar.

2.1.2.6.4    Peran Materi Pembelajaran
 Materi pembelajaran dipersiapkan setelah guru mengadakan suatu analisis kebutuhan peserta didik.  Keanekaragaman kebutuhan peserta didik ini ditampung guru dan dipertimbangkan dalam mempersiapkan materi pembelajaran.  Implikasi dari keadaan ini adalah aktivitas peserta didik dalam kelas berorientasi pada peserta didik.
Kedudukan materi pembelajaran ditekankan pada sesuatu yang menunjang komunikasi peserta didik secara aktif.  Ada tiga jenis materi yang perlu dipertimbangakan, yaitu (1) materi yang berdasarkan teks, (2) materi yang berdasarkan tugas,  dan (3) materi yang berdasarkan bahan yang otentik (Tarigan, 1989).
 
2.1.2.6.5    Pembelajaran Bahasa Berdasarkan Pendekatan Komunikatif
 Tarigan (1989:285) mengungkapkan bahwa metode-metode pembelajaran bahasa komunikatif dilandasi oleh teori pembelajaran yang mengacu pada tiga prinsip, yaitu (1) prinsip komunikasi, kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi nyata mampu mengembangkan proses pembelajaran dan (2) prinsip tugas, kegiatan-kegiatan-kegiatan tempat dipakainya bahasa untuk melaksanakan tugas-tugas yang bermakna dapat mengembangkan proses pembelajaran.  Berdasarkan ketiga prinsip tersebut, Tarigan (1989: 195) mengungkapkan  materi pembelajaran bahasa hendaknya memungkinkan dapat diterapkannya metode permainan, simulasi, bermain peran, dan komunikasi pasangan. 
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mewujudkan metode-metode tersebut adalah teknik drama.
Penggunaan teknik drama  dalam pembelajaran bahasa merupakan upaya guru-peserta didik untuk “mengalami” secara langsung proses pembelajaran bahasa melalui peniruan. Diharapkan melalui pengalaman langsung tersebut tercipta komunikasi yang ideal antara guru dan peserta didik dan antara peserta didik dengan peserta didik.  Masing-masing anggota kelas memiliki peran-peran tertentu sesuai dengan tuntutan drama.  Hal ini sejalan dengan pendapat Hamzah (1994:159) bahwa dengan berteater peserta didik diberi kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan secara maksimal, berekspresi, dan berakting, di samping memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bermain sehingga tidak merasa jenuh dalam proses belajar-mengajar.

3.          Rangkuman
Pendekatan adalah seperangkat asumsi yang bersifat asiomatik mengenai hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan belajar bahasa yang digunakan sebagai landasan dalam merancang, melakukan, dan menilai proses belajar-mengajar bahasa.  Pendekatan-pendekatan yang pernah digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia adalah: pendekatan  tujuan dan pendekatan struktural. Kemudian menyusul pendekatan-pendekatan yang dipandang lebih sesuai dengan hakikat dan fungsi bahasa, yakni pendekatan keterampilan proses, whole language, pendekatan terpadu, kontekstual, dan komunikatif. Keterampilan proses adalah keterampilan yang dikembangkan guru menjadi keterampilan intelektual, sosial, dan fisik yaitu kegiatan: (1) mengamati, (2) menggolongkan, (3) menafsirkan, (4) menerapkan, dan (5) mengkomunikasikan. 
Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham konstruktivis. Dalam whole language bahasa diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, wicara, membaca, dan menulis diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa dapat melihat bahasa sebagai suatu kesatuan. Dalam menerapkan whole language guru harus memahami dulu komponen-komponen whole language agar pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal. Komponen whole language adalah reading aloud, journal writing, sustained silent reading, shared reading, guided reading, guided writing, independent reading, dan independent writing. 
Kelas yang menerapkan whole language merupakan kelas yang kaya dengan barang cetak seperti buku, koran, majalah, dan buku petunjuk.  Di samping itu, kelas whole language dibagi-bagi dalam sudut yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan secara individual di sudut-sudut tersebut.
Selanjutnya, kelas whole language menerapkan penilaian yang menggunakan portofolio dan penilaian informal melalui pengamatan selama pembelajaran berlangsung.  
Pendekatan kontekstual :Inti pembelajaran menurut pendekatan kontekstual adalah materi pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata yang terjadi di lingkungan peserta didik.  Komponen utama dalam pembelajaran menurut pendekatan kontekstual adalah: (1) konstruktivisme, (2) bertanya, (3) menemukan. (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) asesmen autentik. Berdasarkan ketujuh komponen utama inilah penerapan pembelajaran dilaksanakan di kelas.
Konsep kompetensi komunikatif meliputi kompetensi gramatikal, sosiolinguistik, kewacanaan, dan strategi.  Kompetensi gramatikal mengacu pada kemampuan seseorang terhadap kaidah-kaidah bahasa. Kompetensi sosiolinguistik mencakup kemampuan pemahaman terhadap penutur, isi pesan komunikasi, alat penyampai, tujuan, dan mitra bicara.  Kompetensi kewacanaan berkaitan dengan penguasaan seseorang terhadap aspek tuturan yang berupa kalimat, paragraf, dan wacana.  Kompetensi strategi mencakup kemampuan seseorang mengolah informasi menjadi sebuah wacana.
Kegiatan komunikasi yang disajikan hendaknya yang betul-betul diperlukan peserta didik.  Untuk mendorong peserta didik mau belajar hendaknya guru memberikan kegiatan belajar yang bermakna.  Peran guru adalah sebagai pengorganisasi, pembimbing, peneliti, dan pembelajar. Materi pembelajaran hendaknya dapat memungkinkan diterapkannya metode permainan, simulasi, bermain drama, dan komunikasi pasangan.  Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk menerapkan metode tersebut adalah teknik drama. Materi pembelajaran bahasa berperan menunjang komunikasi peserta didik secara aktif.  Penekanan pendekatan komunikatif adalah penyajian materi dan kegiatan pembelajaran berorientasi pada peserta didik  Pembelajaran lebih difokuskan pada penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Pelaksanaannya di kelas keempat aspek keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis mendapat perhatian yang serius.


4.        Latihan 
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, silakan Anda mengerjakan latihan berikut!
1).  Jelaskan pengertian pendekatan dalam  pembelajaran bahasa Indonesia !
2).  Bandingkanlah pendekatan tujuan dan pendekatan struktural!
3).  Apa yang dimaksud dengan pendekatan  keterampilan proses dalam pembelajaran   bahasa Indonesia?
4).  Apa yang dimaksud dengan pendekatan whole language?
5).  Bagaimanakah guru melakukan penilaian dalam kelas whole language?

 Pedoman Jawaban Latihan
 Bagaimana hasil latihan Anda. Coba Anda bandingkan hasil latihan Anda dengan jawaban latihan berikut ini.
1.    Pendekatan adalah serangkaian asumsi yang bersifat aksiomatik tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan belajar bahasa yang digunakan sebagai landasan dalam merancang, melaksanakan, dan menilai proses belajar-mengajar bahasa.
2.    Pendekatan tujuan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan belajar-mengajar yang harus dipikirkan dan ditetapkan lebih dahulu ialah tujuan yang hendak dicapai, sedangkan pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang dilandasi oleh asumsi yang menganggap bahasa sebagai kaidah. 
3.    Pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran bahasa  adalah dalam proses belajar atau belajar bagaimana belajar diperlukan keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik.  Ketiga keterampialan inilah yang disebut keterampilan proses. Keterampilan proses dijabarkan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Penjabaran sebagai berikut.           
a.    Mengamti,
b.    menggolongkan,
c.    menafsirkan, 
d.    mengkomunikasikan, dan
e.    menerapkan. 
4.    Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham konstruktivisme. Dalam whole language bahasa dapat diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, wicara, membaca, dan menulis diajarkan secara   terpadu (integrated) sehingga siswa dapat melihat bahasa sebagai suatu kesatuan.
5.    Dalam kelas whole language penilaian dilakukan guru secara informal dan melalui portofolio   


Tes Pilihan Ganda
 Pilih salah satu jawaban yang paling tepat dari beberapa alternatif jawaban yang disediakan! 
1.    Pendekatan pengajaran bahasa Indonesia di SD yang dianut saat ini, kecuali
A. pendekatan whole language
B. pendekatan tujuan
C. pendekatan komunikatif
D. pendekatan kontekstual 
2.    Pendekatan merupakan seperangkat asumsi yang bersifat aksiomatik. Asumsi yang bersifat aksiomatik mencakup hal-hal tersebut, kecuali
A. pengajaran bahasa
B. penilaian bahasa
C. hakikat bahasa
D. belajar nahasa
3.    Pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran bahasa adalah pendekatan yang bertujuan untuk memberikan kesepakatan kepada siswa …
A. terlibat dalam kegiatan pembelajaran
B. memperoleh pembelajaran yang baik
C. terlibat dalam pembelajaran secara aktif dan kreatif
D. mewujudkan pembelajaran yang relevan
4.    Munculnya pendekatan keterampilan proses ternyata tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan pembelajarannya saja, melainkan juga pada …
A.  pemberian pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan
B.  pemanfaatan media yang relevan dengan kemampuan guru
C.  pemberian pengelolaan kelas yang baik
D.  pemanfaatan media penulisan yang logis dan sistematis 

5.    Dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan keterampilan proses, siswa diharapkan mampu membedakan antara opini dan fakta. Hal ini sesuai dengan salah satu sasaran kemampuan yang harus dikuasai guru.  Hal tersebut berkaitan dengan prinsip-prinsip dalam pendekatan keterampilan proses, khususnya kemampuan…
A.  mengamati
B.  mengitung
C.  menemukan hubungan
D.   melaksanakan penelitian 
6.    Hal yang termasuk dalam komponen Whole language adalah....
A.  pembelajaran bahasa secara utuh dan terpadu
B.  pembelajaran bahasa sebelum sekolah formal
C.  pembelajaran bahasa sesuai dengan lingkungan siswa
D.  pembelajaran bahasa menurut  keterampilan bahasa. 
7.    Dalam kegiatan reading aloud proses pembelajaran bahasa didapat siswa adalah....
A.  menyatakan pendapat secara lisan.
B.  menghafalkan arti kata
C.  menyimak dan pemahaman bacaan
D.  menuliskan gagasan utama 
8.    Tugas guru dalam kegiatan Journal writing adalah....
A.  memberi nilai tulisan siswa.
B.  mengumpulkan pekerjaan siswa.
C.  membuat role play tulisan siswa.
D.  memberikan tanggapan tulisan siswa. 
9.    Salah satu ciri kelas Whole language adalah....
A.  siswa belajar aktif dan terbuka untuk bertanya-jawab
B.  siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya
C.  guru membawa berbagai macam buku di dalam kelas
D.  guru mengajarkan keterampilan bahasa secara terpisah  

10. Cara guru melakukan penilaian dalam kelas Whole language adalah dengan ....
A.  memberikan questionnaire
B.  mengadakan role play
C.  melakukan penilaian secara informal.
D.  menguji secara lisan dan tertulis.

11.         Rumusan pembelajaran yang sifatnya khusus pada pendekatan kontekstual menggunakan istilah ….
A.  CTL
B.  CMP
C.  RME
D.  CMP dan RME 
12.         Komponen yang mengarahkan peserta didik menyadari dirinya telah belajar terdapat pada….
A.  questioning
B.  inquiry
C.  reflection
D.  modeling 
13.         Langkah pembelajaran yang mengarahkan peserta didik dapat membangun sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya merupakan inti pokok dari komponen….
A.  asesmen autentik
B.  refleksi
C.  pemodelan 
D.  konstruktivisme 



14.         Memberikan contoh-contoh dalam proses belajar-mengajar sesuai dengan prinsip pembelajaran dalam komponen….
A. refleksi
B. pemodelan 
C. bertanya
D. konstruktivisme  
15.         Merumuskan teori berdasarkan hasil pengamatan terdapat dalam komponen….
A. inkuiri
B. bertanya
C. refleksi
D. pemodelan  
16.         Langkah belajar yang bertujuan agar peserta didik dapat menyampaikan pendapatnya terdapat pada komponen….
A. konstruktivisme
B. bertanya
C. masyarakat belajar
D. penilaian autentik
17.         Komponen yang mengarahkan peserta didik untuk mendapatkan informasi dalam proses pembelajaran adalah….
A. bertanya
B. refleksi
C. inkuiri
D. pemodelan 
18.         Pendidikan Matematika yang realitas dikembangkan di ….
A. Amerika
B. Belanda
C. Michigan
D. Indonesia  


19.         Salah satu karakteristik pendekatan kontekstual diungkapkan pakar/lembaga adalah….
A. penilaian yang sebenarnya
B. menggunakan berbagai sumber
C. guru kreatif
D. memiliki hubungan yang bermakna
20.         Belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri merupakan salah satu prinsip yang terdapat dalam komponen….
A. inkuri
B. bertanya
C. konstruktivisme
D. masyarakat belajar

21.         Kemampuan seseorang menerapkan ejaan dengan benar dalam tulisannya termasuk kompetensi ….
A.   gramatikal
B.   sosiolinguistik
C.   kewacanaan
D.   strategi
22.         Keterampilan peserta didik dalam menyusun  pengamatannya menjadi wacana laporan merupakan wujud kompetensi ….
A.   gramatikal
B.   sosiolinguistik
C.   kewacanaan
D.  strategi 
23.         Kemampuan peserta didik memilih ragam bahasa dengan tepat sesuai dengan kondisi mitra bicaranya termasuk kompetensi ….
A.   gramatikal
B.   sosiolinguistik
C.   kewacanaan
D.  strategi 
24.         Bahasa adalah faktor utama dalam proses pembelajaran kemampuan kognitif yang merupakan hasil penelitian ….
A. Fyle
B. Bullock
C. Laird
D. Jarsild
25.         Kemampuan berbahasa tidak ada hubungannya dengan kemampuan berpikir adalah pendapat yang diungkapkan oleh ….
A. Jarsild
B. Ali
C. Laird
D. Fyle 
26.         Bahasa identik dengan pikiran.  Pernyataan ini dikemukakan oleh..
A.   Jarsild
B.   Ali
C.   Laird
D.   Fyle
27.         Pembelajaran berbicara harus berpusat pada fungsi komunikatif dan bukan dihafalkan. Pernyataan ini terdapat pada ….   
A.   peran peserta didik dalam proses belajar-mengajar
B.   peran guru dalam proses belajar-mengajar
C.   ciri pembelajaran bahasa yang komunikatif
D.   peran materi pembelajaran 
28.         Tidak merasa malu jika membuat kesalahan dalam berbahasa.  Ungkapan ini terdapat pada ….
A.   peran peserta didik dalam proses belajar-mengajar
B.   peran guru dalam proses belajar-mengajar
C.   ciri pembelajaran bahasa yang komunikatif
D.   peran materi pembelajaran 
29.         Masing-masing peserta didik memiliki peran tertentu.  Pernyataan ini ditemui pada …
A.   metodologi pembelajaran
B.   peran guru dalam proses belajar-mengajar
C.   peran peserta dalam proses pembelajaran
D.   peran materi dalam proses pembelajaran    
30.         Berikut ini merupakan kompetensi utama yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik dalam pembelajaran bahasa menurut pendekatan komunikatif, kecuali ….
A.   menguasai kebahasaan
B.   terampil menyimak
C.   terampil berbicara
D.   terampil membaca






DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1994  Isi dan Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra. Malang.

Anderson, P.S. Langauge Skills in Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Eanes, R. 1997. Content Area Literacy: Teaching for Today and Tomorrow. Albany: New York: Delmar Publishers.

Cox, Carole. 1999. Teaching Language Arts. USA: Allyn Bacon. 


Goodman, K. 1986. What’s Whole Language? Portsmouth, NH: Heinnemann.

Hairudin, dkk. 2007. Peembelajaran Bahasa Indonesia.Jakarta: Dirjen Dikti

Lamme, L.L. & Hysmith, C. 1993. A Whole Language Base for Theme Studies in The Social Studies Curriclum. The Internatioanl Journal of Social Education, 8 (2), 52-65.

Nurhadi dan Senduk, Agus Gerrad.  2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. 

Omaggio, Alce C.  1986.  Teaching Language in Context:  Profisiency-Oriented Intruction.  Boston:Maschusettes:  Heinle and Heinle Publishers, Inc.

Roberts, P.l. 1996. Integrating Language Arts and Social Studies: for Kindergarten and Primary Children. Englewood Cliffts, NJ:Printice hall.

Richard, Jack C. dan Rogers, Theodore S.  1986.  Approaches and Methods in Language Teaching: A Description and Analysis.  Cambridge: Cambridge University Press.

Routman, R. 1994. Invitations: Changing as teachers and Leaners KJ-12. Porthmouth:Heineman.

Subana, M. dan Sunarti. Tanpa tahun. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia Bandung: Pustaka Setia.

Suratinah dan Prakoso, Teguh. 2003. Pendekatan Pembelakajran Bahasa dan Sastra Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka.

Zuchdi, Darmiyati dan Budiasih. 1997. Pendidikan Bahasa Kelas Rendah. Jakarta: Dikti.

Zuchdi, Umiyati.  1996/1997.  Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah.  Jakarta: Depdikbud.